Halaman

Jumat, 08 Juli 2011

Mbahmu!

Well, berbagi cerita - cerita bodoh lagi bersama gue, Ilham (siapa elo? sok iye bgt elo). Kali ini gue pengen cerita tentang seorang mbah, sesuai dengan judul :D. But, ojo tako iku mbah'e sopo (kalo bukan mbah elo, mbah gue gitu? mbah temen - temen gue? gilaa kali lho ya! | itu sih bukan "mbah", tp "salah", ilham (ˇ_ˇ'!))


Jadi gini, si mbah ini (kita sebut saja Mr.X, eh, Mbah Darmoo wekekekek) tinggal di dua rumah punya anaknya (lho kok iso, le? awak'e dibagi loro? | sabar sabar, tanya jawabnya di FAQ aje yee) di Kota Malang (Salam Satu Jiwa, Ker!). Nah, kalo tidur malem sampe sarapan, beliau (tsaaah, beliau nih yeee) tinggal di rumah anaknya yang perempuan, ya meskipun sudah berkeluarga juga. Mbah Darmo tidur di sebuah kamar bersama kedua cucunya :). Sedangkan kalo siang sampai malam, mbah Darmo tinggal di rumah anaknya yang lelaki, juga sudah berkeluarga karena mbah Darmo juga sudah ditinggal mati istrinya (huhuhu :'( kok jd sedih gini? | udah dibilangin kalo mau tanya, tanya di FAQ ajee!!!). Kebiasaan mbah Darmo saat siang hingga malam adalah duduk di depan tv (ngapain? | ngaduk semen!!! bawel dah –_–"), tapi anehnya, beliau menonton acara - acara di televisi dengan volume suara yang sangat minimalis (rumah kaleee).

Lebih dalam lagi (dengarkan sugesti saya lebih dalam lagi | woooy! bukan acaranya Romi nih haish) mengenai mbah Darmo, beliau berumur 70 tahun lebih. You know lah manusia berumur segitu seperti apa, wabilkhusus manusia Indonesia (weeiss! No local aging harassment!).

***Sebelum saya lanjutkan, semua harap menyimak dulu!***

Suatu sore, mbah Darmo berpikiran untuk memangkas rambutnya yang sudah memutih semua. Berangkatlah beliau dari rumah anak lelakinya menuju tempat pangkas rambut yang dekat dengan rumah anak perempuannya. Sesampainya di sana, beliau langsung dapat giliran karena tempat pangkasnya memang agak sepi. Setelah selesai, beliau langsung membayar si pemangkas dengan selembar uang Rp2.000,- (baca yang bener : DUA RIBU RUPIAH). Si pemangkas hanya bisa menerima uang itu dengan dada yang sangat lapang karena ia menyadari bahwa pelanggannya ini adalah seorang yang tua bangka (ups, maaf! :D), tetapi mbah Darmo malah terdiam menunggu, entah apa yang ia tunggu.

Rp2.000,-
Mbah Darmo tidak balik ke rumah anak lelakinya, tapi langsung ke rumah anak perempuannya. Mungkin beliau berniat langsung mandi. Di dalam rumah, bersama cucu - cucu dan anaknya , dia menceritakan tentang tempat pangkas rambutnya barusan.

"Potong ndek kono lho larang!" dengan nada yang agak kesal mbah Darmo bercerita.

"Moso aku bayar rongewu gak disusuki?" lanjut mbah bercerita.

"Piro, Mbah?" tanya kaget salah satu cucunya, yang biasa dipanggil Udin.

"Rongewu! Padahal mesti'e pitungewuan, tak enteni suwi - suwi, eh gak disusuk!" mbah terdengar makin kesal.

"Rongewu, Mbah! Iku bayare mestine pitungewu, yo Mbah sing bayare kurang." Udin mencoba membantu mbah berpikir secara matematis setelah sekian lama otak mbah Darmo belum dikalibrasi ulang (dikata alat ukur kali dah).

"Rongewu iku sakjane sik ono susuk'e!" mbah malah balik ngotot.

"Lho, Mbah, justru Mbah sing sik kurang bayare. Rongewu iku gak cukup, Mbah." Udin terus mencoba.

"Rongewu iku akeh lho yo, sakjane disusuki maneh, ya opo seh?" Mbah tetap pada pendiriannya yang semakin benar.

Terus aja terus. Mbulet ae (¬_¬").

Perdebatan melibatkan anak mbah Darmo yang perempuan. Dengan kepala dingin, dia memutuskan untuk bertanya langsung kepada si pemangkas rambut. Bagaimanapun, jika memang mbah Darmo hanya membayar duar ibu rupiah, artinya itu menjadi tanggungjawab anaknya untuk melunasinya. Namun, sebelumnya, dia memastikan terlabih dahulu.

Ternyata, benar mbah hanya membayar "rongewu". Anaknya hendak melunasi, namun si pemangkas semacam sudah mengikhlaskannya. Tetap dia memaksa si pemangkas untuk melunasinya.

Sekian cerita bodoh dari saya. Kebenaran dan kecerdasan datangnya dari Yang Maha Kuasa (ehem ehem heeeemm), sedangkan kebodohan datangnya dari para pembaca. Oleh karena itu, jangan pernah melihat kebodohan dari sisi bodoh itu sendiri atau kau akan semakin bodoh (wes wes, malihan dadi mbulet pisan iki).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar